5 Juni 2013

Politisi Itu Adalah (Sajak W.S Rendra)

foto : ilustrasi
Para politisi berpakaian rapi.
Mereka turun dari mobil
langsung tersenyum
atau melambaikan tangan.
Di muka kamera televisi
Mereka mengatakan
bahwa pada umumnya keadaan baik,
kecuali adanya unsur-unsur gelap
yang direkayasa oleh lawan mereka.
Dan mereka juga mengatakan
bahwa mereka akan memimpin bangsa
ke arah persatuan dan kemajuan.

“Kuman di seberang lautan tampak.
Gajah di pelupuk mata tak tampak.”
Itu kata rakyat jelata.
Tapi politisi berkata:
“Kuman di seberang lautan harus tampak,
sebab kita harus selalu waspada.
Gajah di pelupuk mata ditembak saja,
sebab ia mengganggu pemandangan.”

Ada orang memakai topi.
Ada orang memakai peci.
Ada yang memakai dasi.
Ada pula yang berbedak dan bergincu.
Kalau sedang berkaca
menikmati diri sendiri
para politisi suka memakai semuanya itu.

Semua politisi mencintai rakyat.
Di hari libur mereka pergi ke Amerika
Dan mereka berkata
bahwa mereka adalah penyambung lidah rakyat.
Kadang-kadang mereka anti demonstrasi.
Kadang-kadang mereka menggerakkan demonstrasi.
Dan kalau ada demonstran yang mati ditembaki,
mereka berkata: itulah pengorbanan
yang lumrah terjadi di setiap perjuangan.
Lalu ia mengirim karangan bunga
dan mengucapkan peryataan dukacita.

Para politisi suka hari cerah,
suka khalayak ramai,
dan bendera-bendera.
Lalu mereka akan berkata:
“Kaum oposisi harus bersatu
Menggalang kekuatan demi perjuangan.
Dan sayalah yang akan memimpin kalian.”

Ada orang suka nasi.
Ada orang suka roti.
Tapi politisi akan makan apa saja
asal sambil makan ia duduk di singgasana.

Memang tanpa mereka
tak akan ada negara
Jadi terpaksa ada Hitler,
Netanyahu, Amangkurat II,
Stalin, Marcos, dan sebagainya.
Yah, kalau melihat Indonesia dewasa ini,
para mahasiswa dibunuh mati,
dan lalu
politisi hanya tahu kekuasaan tanpa diplomasi,
sedang massa tanpa daulat pribadi,
maka politik menjadi martabak atau lumpia.

Lalu ada politisi berkata kepada saya:
“Mas Willy, sajakmu seperti prosa.
Tidak mengandung harapan,
tidak mengandung misteri.
Cobalah mengarang tentang pemandangan alam
dan misteri embun di atas kelopak melati.”

Sampai di sini
puisi ini saya sudahi.

(Cipayung Jaya, 19 November 1998)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar